Istilah Segel Terbang Dalam Sidang Dugaan Pemalsuan Surat Tanah Oknum Anggota DPRD Paser

Anggota majelis hakim, Arif Wisaksono, juga sempat menyinggung keberadaan "segel terbang" dalam sejumlah kasus pertanahan di Balikpapan. Segel terbang merupakan kondisi di mana batas-batas lahan yang berubah dan sulit ditemukan dalam praktiknya. Situasi ini menjadi penting dalam melakukan identifikasi dan verifikasi kepemilikan lahan.

Istilah Segel Terbang Dalam Sidang Dugaan Pemalsuan Surat Tanah Oknum Anggota DPRD Paser

balikpapantv.co.id,BALIKPAPAN- Sidang mengenai kasus dugaan pemalsuan surat tanah yang melibatkan oknum Anggota DPRD Kabupaten Paser, AR, digelar di Pengadilan Negeri Balikpapan pada hari Rabu (25/10). Dalam sidang tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan ahli agraria dan pertanahan bernama Zulkhoir. Zulkhoir adalah pegawai dari Kantor Wilayah ATR/BPN Kalimantan Timur.

JPU Asrina Marina mengatakan bahwa dalam sidang tersebut, ahli dari Kanwil ATR/BPN Kaltim memberikan penjelasan mengenai UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria. Penjelasan tersebut diharapkan membantu proses persidangan dan penentuan keputusan terkait kasus dugaan pemalsuan surat tanah.

"Ahli menjelaskan bahwa kepemilikan sebuah bidang tanah dapat dibuktikan dengan dua syarat. Yakni surat atau sertifikat dan menguasai lahan tersebut," kata Asrina.

Dalam sidang tersebut, JPU Asrina Marina mengungkapkan bahwa PT KRN (Kariangau Refinery Nusantara) telah melaporkan kasus dugaan pemalsuan surat tanah yang melibatkan oknum Anggota DPRD Kabupaten Paser, AR. PT KRN memiliki bukti sertifikat atas tanah seluas 4,2 hektare di kawasan Kariangau, Balikpapan Barat dan menguasai lahan tersebut. Sementara itu, terdakwa mengklaim sebagai pemilik tanah dengan bukti surat tanah yang diklaim dikeluarkan pada tahun 1929. Hal ini menjadi perdebatan karena terdapat perbedaan antara dokumen yang dimiliki oleh PT KRN dan dokumen milik terdakwa. 

Surat tanah yang dimiliki oleh terdakwa tersebut menjadi objek perkara dalam persidangan karena diduga palsu. Keberadaan lahan dan objek perkara tersebut menjadi penting dalam konteks pertanahan di wilayah Balikpapan.

Anggota majelis hakim, Arif Wisaksono, juga sempat menyinggung keberadaan "segel terbang" dalam sejumlah kasus pertanahan di Balikpapan. Segel terbang merupakan kondisi di mana batas-batas lahan yang berubah dan sulit ditemukan dalam praktiknya. Situasi ini menjadi penting dalam melakukan identifikasi dan verifikasi kepemilikan lahan.

"Fakta di lapangan saya menangani, ada segel yang kerap digunakan berkali-kali. Tapi objeknya ada di mana-mana," kata dia.

Pada persidangan sebelumnya, penasihat hukum terdakwa telah menghadirkan ahli bahasa dari Yogyakarta dalam sidang. Ahli tersebut memberikan penjelasan tentang penggunaan ejaan dalam surat tanah milik terdakwa yang tertanggal 16 Desember 1929. Ahli tersebut menyebut bahwa penggunaan ejaan dalam surat tersebut adalah Ejaan Van Ophuijsen yang digunakan pada tahun 1901-1947. Ahli bahasa tersebut juga menilai bahwa tidak ada kesalahan pada ejaan yang terdapat dalam surat tersebut. Menurut ahli tersebut, ejaan yang tertera dalam surat disesuaikan dengan kearifan lokal dan kondisi pada saat surat dibuat.

Hakim juga menanyakan soal adanya tulisan jabatan "Kepala District" pada surat tanah milik terdakwa. Jika mengacu pada tahun tersebut, sebuah jabatan biasanya menggunakan bahasa Belanda.

Pada sidang sebelumnya, JPU juga telah menghadirkan ahli bahasa, Kiftian Hadi Prasetya. Dalam keterangannya, Kiftian menilai bahwa ada beberapa kesalahan dalam ejaan di surat tanah milik terdakwa, seperti kata Telok yang seharusnya Teloek, Kampong seharusnya Kampoeng, Kajoe 2 harusnya Kajoe-Kajor, serta beberapa kesalahan ejaan lainnya.

Oleh karena itu, saat ini AR sedang menghadapi perkara penggunaan surat palsu atas lahan seluas 4,2 hektar di kawasan Kelurahan Kariangau, Kota Balikpapan. Lahan tersebut sebenarnya dimiliki oleh PT KRN, sehingga pelapor mengalami kerugian yang mencapai Rp 11 miliar akibat tindakan AR tersebut. AR dikenakan pasal 263 ayat (1) atau (2) KUH Pidana yang mengatur tentang pemalsuan surat dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara.