Ini Kata Pakar Hukum Tata Negara Terkait Peringat DKPP Ke Ketua KPU

Menurut Pakar Hukum Tata Negara, Dr. Fahri Bachmid, sanksi peringatan keras terakhir yang diberikan oleh DKPP kepada Ketua KPU, Hasyim Asy'ari, tidak memiliki dampak konstitusional atau hukum pada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. 

Ini Kata Pakar Hukum Tata Negara Terkait Peringat DKPP Ke Ketua KPU

balikpapantv.co.id-Pakar Hukum Tata Negara, Dr. Fahri Bachmid, menyatakan bahwa sanksi peringatan keras terakhir dari DKPP kepada Ketua KPU Hasyim Asy'ari tidak mempengaruhi secara konstitusional atau hukum pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. DKPP memberikan sanksi tersebut karena Hasyim melanggar kode etik terkait proses pendaftaran capres-cawapres setelah putusan perubahan syarat batas usia peserta Pilpres dari Mahkamah Konstitusi. Fahri menambahkan bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengikat bagi KPU dan pelanggaran etik DKPP terjadi karena tindakan para teradu dianggap tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu.

“... Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, antara lain, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final ...”. Ketentuan tersebut jelas bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat umum "erga omnes" yang langsung dilaksanakan "self executing" Putusan Mahkamah derajatnya sama seperti Undang-Undang yang harus dan wajib dilaksanakan oleh negara, seluruh warga masyarakat, dan pemangku kepentingan yang ada...”

Lebih lanjut, Fahri mengutip DKPP yang mendasarkan pertimbangan hukum pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 halaman 56 yang menyatakanbahwa Dengan demikian, oleh karena jabatan kepala daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota saat ini paradigmanya adalah jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, sehingga selengkapnya norma a quo berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. 

Dalam konteks ini, Fahri mengatakan bahwa ketentuan Pasal 169 huruf q UU No. 7/2017 tentang Pemilu sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya...”

Sehingga menurut Fahri, berdasarkan ketentuan tersebut, KPU sebagai subjek hukum tata negara, memiliki kewajiban konstitusional untuk melaksanakan Putusan MK sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, tindakan KPU dalam menindaklanjuti Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam pencalonan peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 adalah tindakan yang sudah sesuai dengan Konstitusi dari aspek hukum tata negara.

Fahri menjelaskan bahwa Putusan DKPP juga mengatakan bahwa tindakan KPU tidak sejalan dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu dalam melaksanakan Putusan MK, sehingga KPU seharusnya segera menyusun rancangan perubahan PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai tindaklanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.

"Tetapi pada hakikatnya itu merupakan ranah etik yang tentunya dapat dinilai secara etik sesuai Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu," pungkas Fahri.