Dari Sidang Korupsi BPHTB di Pengadilan Tipikor Samarinda, Tak Menepis Ada Potensi Keteledoran
Sandy sempat menggunakan uang itu untuk membeli mobil. Sementara Maryam membeli sebidang tanah dan plesiran ke lima negara, yakni Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, hingga Vietnam. Selepas keduanya diperiksa, Ketua Majelis Hakim Nugrahini Meinastiti menjadwalkan ulang persidangan dengan agenda pembacaan tuntutan dari JPU pada 11 September mendatang.

balikpapantv.co.id,SAMARINDA-Suprapto bertanya-tanya bagaimana standar operasional prosedur (SOP) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Samarinda, dalam memverifikasi dokumen pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah atau Bangunan (BPHTB) Samarinda untuk pengurusan sertifikat tanah.
Dia merasa janggal lantaran dokumen yang dimanipulasi dua terdakwa dalam perkara korupsi BPHTB Samarinda, Maryam Shafiyyah dan Arisandy alias Sandy, lolos begitu saja. Hal itu tak hanya sekali terjadi, sebanyak 84 berkas yang dimanipulasi kedua terdakwa dalam rentang waktu 2015–2018. “Itu BPN yang teledor atau dua terdakwa itu cerdas banget. Kok bisa semudah itu. Saya bingung saja,” ungkap anggota majelis hakim Pengadilan Tipikor Samarinda itu dalam persidangan, kemarin (4/9).
Pertanyaan itu dilemparkannya ke Kepala BPN Samarinda Firman Ariefiansyah Singagerda, saksi yang dihadirkan JPU Indriasari, Sondang Lestari, dan Sri Rukmini ke persidangan korupsi yang disinyalir merugikan daerah sebesar Rp 1,08 miliar. “Banyak hal majelis karena kelengkapan dokumen persyaratan untuk mengurus sertifikat tanah penting. Untuk BPHTB karena ada formnya sendiri. Selama lengkap pasti diproses,” tuturnya.
Adanya manipulasi form pembayaran BPHTB dari Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Samarinda, tak bisa sepenuhnya menjadi kesalahan BPN. Alasannya, sambung Firman, tanggung jawab BPN lebih mengarah ke administratif, khususnya koordinasi dengan Bapenda terkait rampungnya proses BPHTB tersebut.
Dia tak menampik adanya potensi keteledoran dari pegawai BPN, karena bisa meloloskan form pembayaran BPHTB tersebut. “Saya enggak tahu detailnya seperti apa saat itu. Karena saya baru menjabat di BPN Samarinda 2021 lalu. Namun, proses pengurusan sejak 2019 sudah online. Tak lagi manual. Di kasus itu, saat itu masih manual,” jelasnya menegaskan.
Selepas Firman memberikan keterangan, persidangan berjalan maraton. Agenda persidangan dilanjut dengan pemeriksaan kedua terdakwa. Keduanya mengaku praktik lancung memanipulasi dokumen itu terbilang mudah. Cukup dengan memindai form BPHTB dari Bapenda Samarinda, dan merekonstruksi data wajib pajak yang tertuang. “Jadi scan di komputer, ubah sedikit. Terus diakali pakai stempel palsu,” aku Sandy.
Tugas memindai dokumen itu diserahkannya ke Maryam. Ketika dokumen jadi, baru uang yang dititipkan wajib pajak (WP) untuk mengurus BPHTB dibagi rata keduanya. “Misal ada Rp 2 juta biaya untuk urus BPHTB, karena diakali jadi tak setor ke bank, uang kami bagi dua,” jelasnya.
Hal itu hanya dilakukannya sepanjang 2015–2016, karena medio 2016 dia sudah tak bekerja lagi di kantor PPAT Dedek Yuliona. Sementara Maryam menyebut, terus melakukan praktik melenceng itu setahun selepas Sandy berhenti bekerja. “Saya cuma sampai 2017,” akunya ketika diperiksa. Dari perhitungan keduanya, Sandy mendapat sekitar Rp 700 juta, dan Maryam menikmati BPHTB yang dititipkan WP namun tak disetorkan ke bank Rp 300 juta. Fulus itu digunakan keduanya untuk keperluan sehari-hari.
Sandy sempat menggunakan uang itu untuk membeli mobil. Sementara Maryam membeli sebidang tanah dan plesiran ke lima negara, yakni Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, hingga Vietnam. Selepas keduanya diperiksa, Ketua Majelis Hakim Nugrahini Meinastiti menjadwalkan ulang persidangan dengan agenda pembacaan tuntutan dari JPU pada 11 September mendatang.